Saturday, September 12, 2009

The Bodhisattva Jesus

Alkisah, ada tiga orang sedang menempuh perjalanan di padang gurun yang kering dan gersang. Mereka terbakar terik matahari dan sangat kehausan. Di kejauhan mereka melihat sebuah tembok tinggi yang segera mereka dekati. Sesampainya di sana, mereka mengelilingi tembok itu untuk menemukan jalan masuk, tetapi tidak satupun pintu mereka temukan. Mereka lalu memutuskan untuk memanjat tembok tinggi itu. Salah seorang menaiki pundak seorang temannya, lalu melihat ke balik tembok, dan berteriak “Hore” lalu melompat ke dalam. Orang yang kedua juga mengulangi tindakan temannya sebelumnya, lalu juga berteriak girang dan melompat ke dalamnya. Orang yang ketiga tinggal sendirian. Dia berusaha keras tanpa bantuan memanjat tembok tinggi itu dan berhasil. Dia melihat di balik tembok itu ada sebuah taman luas yang subur lengkap dengan air sejuk mengalir, pohon-pohon, buah-buahan, hewan-hewan, dan sebagainya. Tetapi, ketimbang segera melompat memasuki taman itu, dia sebaliknya melompat masuk kembali ke gurun gersang itu dan mencari tanpa henti para musafir yang melewati gurun itu untuk memberitahukan mereka taman itu dan cara menemukannya. Nah, orang yang ketiga inilah Bodhisattva.

Dalam tradisi Buddhisme, khususnya aliran Mahayana, Bodhisattva adalah seorang makhluk atau manusia (Sanskerta: sattva) yang sudah mencapai pencerahan (bodhi) dan tinggal selangkah lagi terlepas dari samsara, siklus penderitaan, kematian, kelahiran kembali, lalu memasuki Nirvana (Nibbāna) dan mencapai status Buddha (“orang yang telah sepenuhnya dicerahkan”), tetapi bersumpah tidak akan masuk ke dalam Nirvana Ke-buddha-an sampai seluruh manusia bahkan seluruh rumput di padang mendapatkan pencerahan melalui dharma/dhamma (“ajaran”, “logos”, “nomos”, “hikmat”, “kebenaran”) dan kebajikan (paramita) yang disebarkannya (parinamana) dalam dunia ini.

Nah, gambar 1 di atas menampilkan Yesus Bodhisattva yang sedang duduk dalam posisi bersila atau dalam posisi teratai atau posisi padma (Sanskerta: padma-asana) di atas bunga padma (teratai atau seroja) yang sedang mekar penuh berwarna merah muda. Padma-asana adalah suatu posisi istimewa yang dalam tradisi agama-agama Timur seperti Buddhisme dan Hinduisme dan lain-lain dikenakan kepada figur-figur suci seperti para Bodhisattva, misalnya Bodhisattva Samantabhadra atau Fugen Bosatsu, yang dipandang sebagai sang Bodhisattva keindahan dan cinta universal (lihat gambar 2 dan gambar 3). Begitu juga, Dewi Lakshmi yang dalam Hinduisme dipercaya sebagai Dewi kecantikan, kekayaan, kemakmuran, kesehatan dan kemurnian, dilukiskan bersila di atas bunga padma merah muda yang mekar sempurna (lihat gambar 4). Orang yang berlatih yoga juga melakukan padma-asana (lihat gambar 5) untuk melenyapkan segala penyakit dan mempertahankan keseimbangan alamiah antara tubuh, gerak pikiran dan gerak pernafasan sehingga dari kehidupannya dapat mengalir cinta.

Tanaman teratai tumbuh di atas air yang keruh berlumpur, tetapi daun-daunnya yang hijau lebar dan bunga-bunganya yang indah bermekaran senantiasa tetap kering dan tidak ternoda oleh air keruh berlumpur (gambar 6). Seorang pakar Konfusianisme yang bernama Zhou Dunyi memuji tanaman padma, tulisnya “Aku menyukai padma karena meskipun tumbuh dari lumpur, tanaman ini senantiasa tidak ternoda.” Dalam Bhagavad Gita 5:10, kita baca, “Barangsiapa melakukan kewajibannya tanpa terikat pada apa yang dilakukannya, melainkan memasrahkan segala hasilnya pada Tuhan Yang Maha Agung, dia tidak terpengaruh oleh tindakan yang berdosa, bak bunga padma tidak tersentuh oleh air.” Konon dikisahkan bahwa ketika Gautama Buddha baru dilahirkan, sang bayi Gautama langsung bisa berjalan sendiri dan pada tujuh tempat pertama dia menapakkan kakinya langsung tumbuh bunga teratai yang mekar.

Bunga padma, dengan demikian, adalah sebuah simbol yang pas untuk menggambarkan keindahan ilahi, kemurnian seksualitas, budi dan kesadaran, kodrat dasariah manusia yang murni dan tidak tercemar, kebajikan, cinta, gerak transformasi dari ketidaktahuan ke pencerahan, orang yang dicerahkan, jati diri Bodhisattva.

Kalau kita perhatikan dengan saksama gambar Yesus Bodhisattva di atas, si pelukisnya ingin menyatakan Yesus adalah seorang Bodhisattva, dengan semua sifat yang dikenakan pada bunga padma melekat pada dirinya. Dia duduk bersila, mengambil posisi padma-asana, sambil bersemedi dengan kedua mata terbuka, dengan kedua tapak tangan dan jari-jemarinya dirapatkan mengambil bentuk seperti bentuk yang biasa tampak dalam lukisan-lukisan Gautama Buddha yang sedang bermeditasi, dan mengenakan jubah teduh seorang suci Asia. Di latarbelakangnya berdiri sebuah kayu salib yang pada masing-masing kiri dan kanan bilah horisontalnya tertancap sebilah paku yang masih berbercak darah merah.

Sehabis disalibkan,
Yesus sang Bodhisattva ini tidak meninggalkan dunia ini, memasuki Nirvana, kembali kepada sang Bapa di surga seperti dipercayai oleh orang Kristen pada umumnya sehingga salibnya kosong seperti ikon salib orang Kristen Protestan, tetapi tetap berada dalam dunia ini dan berkarya terus sebagai seorang Bodhisattva, membawa dharma dan menabur paramita, sampai semua makhluk dan segala rumput di seluruh padang di muka bumi mendapatkan bodhi dan mengalami pembebasan dari siklus samsara kematian dan kelahiran kembali, masuk ke dalam Nibbāna. Kontras dengan Yesus sang Bodhisattva yang tidak terus terpantek di kayu salib, tetapi aktif kembali dalam dunia menebar kebajikan dan menyampaikan pengajaran, orang Kristen Katolik membayangkan sang Kristus mereka masih terus tersalib sebagaimana ikon kayu salib gereja ini masih digantungi jenazah Yesus yang berat.

Orang Kristen ortodoks perlu belajar banyak dari si pelukis Yesus sang Bodhisattva ini, yang impresif sekali bisa lebih dekat masuk ke dalam jantung kemanusiaan dan keilahian yang berdetak dalam figur Yesus ini. Bagi si pelukis ini, setiap orang yang mengikut Yesus sang Bodhisattva ini akan menjadi bukan seorang Kristen egoistik introvert yang mencari keselamatan untuk pribadinya dan ingin cepat-cepat masuk surga, tetapi akan menjadi seorang Bodhisattva Kristen yang menolak masuk surga, dan memilih tetap tinggal dalam dunia ini untuk giat menabur kebajikan dan menyebar dharma sampai semua makhluk dan segala rumput di padang serta semua hewan dan serangga mendapatkan penerangan budi.